Selasa, 27 Maret 2012

FILSAFAT HUKUM DALAM LINTASAN SEJARAH

PENDAHULUAN
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan. Filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Kesimpulannya, Filsafat ialah suatu pengetahuan metodis dan sistematis, melalui jalan refleksi hendak menangkap makna yang hakiki dari hidup dan dari gejala hidup sebagai bagian dari padanya.
Gejala yang diselidiki adalah hukum. Akan tetapi dalam pendekatan ini hanya dipentingkan apa yang cocok dengan tema yang dibahas, sehingga filsafat hukum pemikiran zaman dulu hanya dipersoalkan secara tematis, dalam rangka pemikiran teme-tema hukum sekarang.

FILSAFAT HUKUM SEBELUM ABAD XX

Filsafat yang akan menghasilkan pikiran pikiran modern tentang hukum dimulai perkembangannya di Yunani pada abad VI sebelum masehi. Pemikiran-pemikiran Yunani itu diteruskan dalam kebudayaan romawi, kemudian ditampung dalam kebudayaan eropa.


ZAMAN YUNANI – ROMAWI
1.    Alam Pikiran Kuno
Di Yunani, alam pikiran kuno ditandai suatu semangat religius yang mendalam. Kehidupan warga-warga negeri Yunani berlangsung dalam polis.
Menurut filsuf-filsuf pertama, hukum itu tidak terbatas pada masyarakat manusia, hukum meliputi semesta alam.
Kaum Sofis memulai kegiatan pada abad V sebelum masehi adalah orang terpelajar yang bekeliling Yunani yang mengajarkan para pemuda yang ingin memainkan peranan dalam politik negaranya. Polis telah memiliki aturan hukum yang terang. Dalam suatu negara demokratis peranan warga dalam membentuk Undang-undang adalah besar.
Sokrates tidak menyetujui, namun berpendapat bahwa kebenaran bersifat obyektif dan sebagai demikian merupakan pedoman yang tetap bagi semua manusia. Baginya tugas negara adalah mendidik warganegara dalam keutamaan.

2.    Plato
Plato adalah murid Sokrates. Ajarannya mengenai negara seperti diuraikan dalam Politeia, dalam dunia fenomenon (gejala) terdapat negara-negara yang kurang sempurna. Sedangkan dalam dunia eidos ( tidak kelihatan) terdapat negara ideal. Arti aturan negara yang adil dapat dipelajari dari aturan lain, yakni aturan yang baik dari jiwa. Pandangan Plato ini adalah pandangan totaliter.
Ajaran Plato tentang negara dan hukum mengandung unsur yang baik bagi perkembangan suatu negara yang merdeka dan adil. Dipertanyakan apakah ideal negara menurut Plato terlalu tinggi dan abstrak untuk diwujudkan dalam kenyataan.

3.    Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato yang juga termashur. Dialah yang pertama kali membedakan antara hukum alam dan hukum positif, mengajarkan teori tentang keadilan.

4.    Hukum Romawi
Sejak didirikan kota Roma pada abad VIII sebelum masehi, orang Roma membentuk peraturan-peraturan hidup bersama sesuai dengan kebutuhan rakyat. Aliran filsafat yang mempengaruhi  pandangan orang romawi adalah aliran Stoa. Ide dasar stoa adalah suatu kesatuan yang teratur (kosmos) berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan yakni jiwa dunia (logos). Dalam aliran ini, suatu ide baru tentang negara dikembangkan.
Pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum cukup besar, khususnya melalui ius gentium yang masuk Codex Iustinianus pada abad VI, selanjutnya diresepsi dalam hukum negara-negara eropa, dan kemudian menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.


ABAD PERTENGAHAN
Pada abad V sesudah masehi Kekaisaran Romawi runtuh, dan inilah permulaan suatu zaman baru. Agama-agama dan bangsa-bangsa baru mulai muncul membawa ide-ide dan tata cara baru.

1.    Augustinus
Augustinus  adalah pemikir kristiani yang paling besar pada abad-abad pertama. Augustinus menerima pandangan Stoa tentang suatu rencana alam. Augustinus mengikuti jejak Plato yang menerima ide-ide abadi yang merupakan contoh bagi benda-benda dunia. Pandangan Augustinus atas hukum positif kurang jelas.

2.    Thomas Aquinas
Thomas Aquinas adalah seorang rohaniawan gereja Katolik yang lahir di Italia. Dalam membahas arti hukum Thomas mulai membedakan antara hukum-hukum dari wahyu Tuhan dengan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia.
Pandangan Thomas terhadap negara, sama dengan pandangan Aristoteles, negara adalah masyarakat yang sempurna (societas perfecta ).

3.    Hukum Islam
Dalam ababd-abad pertama Hijriah, agama Islam mempengaruhi bangsa-bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di Timur tengah dengan sedemikian rupa sehingga timbulah suatu aturan hidup baru.
Peraturan yang terkandung dalam hukum islam meliputi segala bidang kehidupan. Oleh karena itu hukum Islam seluruhnya berazaskan pada agama, maka tidak ada kebutuhan akan suatu hukum dasar, hukum Ilahi Positif dianggap sebagai titik tolak dan landasan segala hukum.
Meninjau kembali pandangan-pandangan hukum selama abad pertengahan tidak pernah lepas dari keyakinan orang-orang sebagai orang beragama.


ZAMAN RENAISANCE
Para ahli sejarah filsafat menggabungkan zaman Renaisance dengan abad pertengahan, bukan dengan zaman modern. Dalam bidang kesenian dan kebudayaan romawi dan yunani ditonjolkan sebagai kebudayaan ideal. Dalam bidang politik perubahan zaman menjadi nyata dalam tekanan yang diberikan kepada kekuasaan negara nasional.

1.    Pelopor-pelopor Zaman Baru
Sebelum zaman Renaisance telah muncul beberapa pemikir seperti William dari Occam. Sistem nominalisme dapat dipandang sebagai lawan utama sistem skolastik, khususnya sistem Thomas Aquinas. Kemudian ada Marsilius dari Pardova yang mempunyai pandangan baru dalam filsafat politik, yakni tentang negara sebagai masyarakat lengkap.

2.    Abad XVI
Desiderius Erasmus dipandang humanis paling terpelajar, yang meletakkan bidang studi klasik, yakni sastra Yunani dan Latin dalam bidang Theologi.
Thomas More adalah humanis Inggris yang memiliki jabatan dan fungsi dalam bidang kehakiman dan politik, dengan mengkritik tingkah laku moral raja Henry VIII sehingga dia dihukum mati.
Protestantianisme yang terjadi sejak 1517 pada umat kristen di Eropa Utara melakukan protes terhadap kewibawaan dan ajaran Paus di Roma. Tokoh-tokohnya adalah Luther dan Calvin.
Nicolo Machiaveli sebagai humanis Italia yang ingin membengkitkan kembali kebudayaan Romawi Kuno, dengan mewujudkan kembali kekaisaran Romawi zaman dahulu.
Jean Bodin melontarkan ide tentang kedaulatan negara. Dalam negara terdapat suatu kekuasaan atas warga-warga negara yang tidak dibatasi oleh suatu kekuasaan lain. Pun pula tidak terikat Undang-undang.

3.    Hugo Grotius
Hugo Grotius adalah seorang humanis yang memegang jabatan ahli hukum dan negarawan. Dia berjasa bagi perkembangan hukum internasional. Grotius menjelaskan terbentuknya negara bertolak dari alam manusia. Pandangan hukum alam pada Grotius berbeda dari hukum alam dalam Abad Pertengahan.
Prinsip Rasional pertama dalam bidang hukum adalah: setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Pandangan bahwa suatu kenyataan dapat menjadi sumber hukum diterapkan juga pada hak subyektif lain, seperti pada hak atas kebebasan.
Dapat disimpulkan bahwa ide hukum alam pada Grotius terlalu sempit untuk mencakup segi kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat.

4.    Thomas Hobes
Dilihat dari sudut pendekatan ilmiahnya terhadap masalah-masalah negara dan hukum, Hobes dapat digolongkan dalam aliran rasionalisme. Menurutnya metode yang tepat untuk mendapatkan kebenaran adalah metoda yang digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan positif seperti pengetahuan fisika dan matematika. Dalam sistem empirisme Hobbes tidak ada tempat bagi hak-hak pribadi dan negara hukum. Maka seperti Machiaveli, Hobbes menganut suatu natiralisme.

ZAMAN RASIONALISME
Dasar rasionalisme diletakkan oleh Descrates, tujuannya adalah membentuk suatu sistem filsafat yang sama kuat dengan sistem ilmu-ilmu pengetahuan alam dan matematika. Pada zaman rasionalisme, gagasan-gagasan zaman sebelumnya masih sangat berpengaruh, namun lama kelamaan gagasan itu dilepaskan. Kemudian mulai muncul ide baru tentang kedaulatan rakyat dan nilai pribadi manusia sebagai subyek hukum.

(bersambung)

PIWULANG LELUHUR

 
BOMA PATRICK WIBAWAH


1. "Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-
Aji, Sugih Tanpa Bandha"
Artinya berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan
atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan,
kekuatan,kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan.

2. "Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan"
Artinya jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri;
Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

3. "Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan
Ngungkuli"
Artinya berkarya dan bersemangat tanpa pamrih; Cepat tanpa
harus mendahului; Tinggi tanpa harus melebihi.

4. "Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman"
Artinya jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja.

5. "Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman"
Artinya janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk
memperoleh kedudukan,kebendaan dan kepuasan duniawi.

6. "Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka, Sing
Was-was Tiwas"
Artinya jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan
suka berbuat curang agar tidak celaka; dan Barang siapa yang ragu-ragu akan binasa atau merugi.

7. "Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo"
Artinya jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.

8. "Aja Adigang, Adigung, Adiguna"
Artinya jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

9. "Sing Sabar lan Ngalah Dadi kekasih Allah"
Artinya yang sabar dan mengalah akan jadi kekasih Allah.

10. "Sing Prihatin Bakal Memimpin"
Artinya siapa berani hidup prihatin akan menjadi satria, pejuang dan pemimpin.

11. "Sing Resik Uripe Bakal Mulya"
Artinya siapa yang bersih hidupnya akan hidup mulya.

12. "Urip Iku Urup"
Artinya hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat.

13. "Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti"
Artinya keberanian, kekuatan dan kekuasaan dapat ditundukkan oleh
salam sejahtera.

14. "Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara"
Artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara
murka,dan serakah

Senin, 26 Maret 2012

SELAYANG PANDANG LEMBAGA BANTUAN HUKUM NUSANTARA KENDAL

Akses pada keadilan sudah menjadi tema utama dalam kegiatan reformasi baik di dalam kehidupan masyarakat kota maupun masyarakat pelosok desa terutama kaum miskin yang terpinggirkan, Hal ini dikarenakan banyak sekali hambatan –hambatan untuk mencapai tujuan ini, tapi satu hal yang paling penting adalah masalah-masalah hokum hanyalah bagaimana mendapatkan advis yang baik dan tepat, utamanya bagaimana menyadarkan masyarakat yang sadar hokum demikian pula para penegak hokum.
Berkaitan dengan itu diperlukan informasi-informasi yang berkaitan dengan prosedur, mekanisme dan aturan hokum itu sendiri, penting untuk diketahui masyarakat, informasi semacam itu diharapkan mencegah masyarakat dari tindakan pembodohan, ditakut-takuti kekuasaan disinilah yang disebut masyarakat buta hokum, oleh sebab itu LBHN Kendal salah satu tujuan utamanya adalah ikut mencerdaskan anak bangsa menjadi masyarakat yang melek hokum,   
LEMBAGA BANTUAN HUKUM NUSANTARA (LBHN) KENDAL, Yang berdiri berdasarkan pada  akta pendirian  : nomor 9 Tanggal 9 Desember 2010 dengan Register Panitera Pengadilan Negeri Semarang. No. 27/2010/IV/ Tanggal 27 April 2010. Beralamat kantor : Jln . Soekarno – Hatta Km .3 Kendal.

Sejak itu dikenal masyarakat sebagai sebuah lembaga yang memberikan bantuan dan pelayanan hokum kepada masyarakat untuk memperoleh akses keadilan. Para pekerja bantuan hokum dikantor lembaga bantuan hokum ini sehari-hari melakukan aktivitas advokasi dalam bentuk litigasi dan non litigasi. Khususnya, dibidang  litigasi dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan advokat dan pekerja bantuan hokum untuk menyusun argmen - argumen hokum dalam memberikan konsultasi hukum, mendampingi, membela dan melakukan tindakaan hokum lain untuk kepentingan para pencari keadilan yang menjadi harapan klien dan konstituen LBHN.

Advokat dan konsultan hokum LBHN Kendal

Selasa, 20 Maret 2012

TATA CARA MENGAJUKAN GUGAT CERAI MENURUT UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974

TATA CARA MENGAJUKAN GUGAT CERAI
MENURUT UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974

Pertanyaan :
Bagaimana tata cara utk mengajukan gugat cerai menurut UU Perkawinan No. 1 thn 1974 pasal 40 ayat 2?
Seandainya gugatan yang diajukan gugur / ditolak, apakah alasan yg sama masih bisa dipakai sebagai gugatan berikutnya?
Terima kasih

Jawaban :
Pasal 40 mengatur tentang gugatan perceraian mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya sedangkan tata cara untuk mengajukan gugat cerai akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini.
Menurut Pasal 14 UU Perkawinan seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19 disebutkan dibawah) dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Disamping itu pasal 19 menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 20 (1), (2), (3) UU Perkawinan).
Jika gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya maka diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21).
Dalam hal gugatan karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu (Pasal 22).
Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Mengenai gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Gugatan diajukan dengan alasan yang sama maka tidak akan diterima oleh Pengadilan.
Jika gugatan akan diajukan kembali maka harus dengan alasan-alasan yang berbeda dengan alasan yang sebelumnya.

MASALAH WARISAN

PERMASALAHAN PENJUALAN TANAH WARISAN DALAM HAL TERDAPAT ANAK DI BAWAH UMUR

Apabila seseorang meninggal dunia maka harta yang ditinggalkannya akan beralih kepada para ahli warisnya. Ada kemungkinan ahli waris yang bersangkutan masih dibawah umur.Namun sekalipun ia masih dibawah umur ia tetap berhak atas harta warisan tersebut dan karenanya jika dalam harta warisan tersebut terdapat harta tidak bergerak misalnya tanah maka selanjutnya sertipikat tanah tersebut dibalik nama ke atas nama para ahli waris termasuk anak yang masih dibawah umur tersebut.

Dalam praktek banyak kita jumpai bahwa karena alasan tertentu selanjutnya harta warisan berupa tanah tersebut hendak dijual kepada pihak lain atau kepada salah seorang ahli waris yang ada.Yang menjadi permasalahan adalah apakah untuk penjulan tanah tersebut, karena didalamnya terdapat anak yang masih dibawah umur harus memperoleh izin dari hakim pengadilan negeri setempat sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 309 jo Pasal 393 KUHPerdata.  

Menurut penulis untuk menjawab permasalahan tersebut tentunya kita harus menjawab pertanyaan  apakah ketentuan KUHPerdata berlaku  bagi mereka? 

Dan selanjutnya jika ketentuan KHUPerdata berlaku bagi mereka, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata tersebut masih berlaku dengan adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 48 jo Pasal  jo 52 UU No 1 tahun 1974 (UU Perkawinan) yang melarang orang tua atau wali untuk memindahkan hak atau menjadikan jaminan utang harta   tidak bergerak milik anak yang masih belum berusia 18 tahun, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

UU Perkawinan memang tidak mencabut ketentuan pasal 309 dan 393 KUHPerdata tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut maka kita berpegang pada ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan. Dengan adanya ketentuan Pasaal 66 UU Perkawinan tersebut berarti bahwa jika hal tersebut telah diatur dalam UU Perkawinan maka ketentuan yang lama tidak berlaku lagi, sedangkan apabila UU Perkawinan tidak mengaturnya maka ketentuan yang lama tetap berlaku.

Berkaitan dengan hal tersebut maka kita harus melihat hukum apa yang berlaku bagi mereka, apakah mereka tunduk pada KUHPerdata atau tidak. bagi yang tidak tunduk pada KUHPerdata maka bagi mereka berlaku hukum islam atau hukum adatnya.

Bagi mereka yang tunduk pada ketentuan KUHPerdata tentunya untuk menjual tanah tersebut karena didalamnya tersangkut anak dibawah umur,  harus terlebih dahulu memperoleh izin dari hakim pengadilan negeri, sedangkan bagi mereka yang tidak tunduk pada ketentuan KUHPerdata menurut penulis untuk penjualan tanah tersebut tidak perlu memperoleh izin dari hakim, sepanjang penjualan tersebut dilakukan untuk kepetingan anak yang bersangkutan.

Dalam praktek kenyataannya terdapat perbedaan pemberlakukan atas ketentuan tersebut tergantung kepada kebijakan pejabat Kantor Pertanahan setempat. Ada yang mensyaratkan bahwa untuk penjualan tanah yang didalamnya tersangkut anak dibawah umur harus ada izin terlebih dahulu dari hakim pengadilan negeri setempat tanpa membedakan mereka tunduk pada KUHPerdata atau tidak, tapi ada pula yang tidak mensyaratkan hal tersebut apabila pihak penjual tidak tunduk pada KUHPerdata sepanjang dipenuhi sayarat yang ditentukan dalam Pasal 48 UU Perkawinan tersebut.   

Dengan adanya perbedaan penafsiran ketentuan  tersebut maka seharusnya ada kesepakatan di kalangan notaris dan PPAT yang mengatur mengenai kesatuan sikap dan tindak Noatrsi dan PPAT dalam menghadapi hal tersebut yang ditetapkan dalam kongres INI/IPPAT

PELATIHAN DASAR PERLINDUNGAN KONSUMEN




Nomor                        : 045/SK/LPK/III/2012                                          Kendal,17 Maret 2012
Lampiran       : 1 (satu) bendel
Perihal            : UNDANGAN

                                                                                                Kepada :
                                                                                                Yth. ……………………..………..
                                                                                                ………………………………..…...
                                                                                                Di Tempat

Dengan hormat,

            Dalam rangka meningkatkan Sumber daya Manusia bagi pengiat dan pengelola LPKSM di wilayah Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Jawa Barat segenap Panitia bekerja sama dengan berbagai pihak yang di dukung penuh oleh Direktur Perlindungan Konsumen Deperindag RI akan menyelenggarakan pelatihan dasar dalam rangka membentuk Konsumen Cerdas dan Mandiri, yang diselenggarakan pada :

Hari / Tanggal             : Jum’at, Sabtu dan Minggu tgl.27,28 dan 29 April 2012
Jam                              : 13.00 Wib s/d Selesai (Acara Pembukaan )
Tempat                        : HOTEL CITRA DEWI III Wisata Bandungan Kab.Semarang
Fasilitas                       :          
a)      Makan, Air Hangat & Caffe Break.
b)      Tas, Blok Note.
c)      Sertifikat Pelatihan.
d)     Penginapan dan fasilitas lainnya

Diharapkan peserta yang dikirim membawa foto 3x4 berwarna 2 lembar dan berpakaian rapi. konfirmasi peserta pada alamat kami di atas atau Hub Panitia (085 225 755 619).
Demikian undangan kami, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.


                                                            LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
                                                                          NUSANTARA KENDAL




                                                                                  SAROJI, SH.


Tembusan disampaikan kepada :
1.      Yth.Pimpinan LPK Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
2.      Yth.Pimpinan LPK NUSANTARA Sebagai laporan.
3.      Dirjen Perlindungan Konsumen di Jakarta.
4.      Pertinggal.



Selasa, 14 Juni 2011

PELAYANAN PUBLIK

Draft VIII
Tgl 17-02-2005
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR……TAHUN……
TENTANG
PELAYANAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk, serta pemerintah sebagai perwujudan negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik perlu didasarkan pada norma-norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah, maka diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c dan d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik.
.Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dan ditambah.
2. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125
2
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYANAN PUBLIK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
2. Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.
3. Aparat Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Aparat adalah para pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi Penyelenggara.
4. Masyarakat adalah seluruh pihak yang berkedudukan sebagai penerima manfaat dari pelayanan baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, orang-perorangan, maupun badan hukum.
5. Standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari Penyelenggara kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
6. Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis dari Penyelenggara berisi janji-janji Penyelenggara untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan serta dipublikasikan secara luas.
7. Sistem informasi adalah mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun dokumen elektronis tentang segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan yang dikelolanya.
3
BAB II
ASAS DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan pelayanan publik dilaksanakan sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan tujuan undang-undang ini.
(2) Asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. partisipatif;
d. akuntabilitas;
e. kepentingan umum;
f. profesionalisme;
g. kesamaan hak;
h. keseimbangan hak dan kewajiban.
Pasal 3
Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik meliputi pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.
BAB III
PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Organisasi Penyelenggara
Pasal 4
Organisasi Penyelenggara dibentuk secara efisien dan efektif agar mampu menyelenggarakan tugas dan fungsi pelayanan publik dengan baik.
Pasal 5
Organisasi Penyelenggara sebagaimana dimaksud Pasal 4 mempunyai fungsi sekurang-kurangnya, meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan;
4
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi; dan
d. pengawasan internal.
Pasal 6
(1) Dalam rangka efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik terhadap pemberian pelayanan yang meliputi berbagai jenis pelayanan dapat dilakukan melalui pelayanan terpadu.
(2) Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat, meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses, dan dilayani melalui beberapa pintu, diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu atap.
(3) Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat dan meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses, diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu pintu.
Bagian Kedua
Larangan dan Kewajiban Aparat
Pasal 7
(1) Aparat dilarang merangkap sebagai pengurus organisasi, baik organisasi usaha, maupun organisasi politik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh suatu Undang-Undang.
(2) Aparat yang merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi baik organisasi usaha, maupun organisasi politik yang tidak dikecualikan oleh suatu Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diberhentikan dari jabatan dan atau diberhentikan status kepegawaiannya.
Pasal 8
Aparat dilarang meninggalkan tugas dan kewajiban berkenaan dengan posisi atau jabatannya, kecuali mempunyai alasan yang jelas, rasional dan sah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pasal 9
Aparat wajib memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatannya.
5
Pasal 10
Aparat wajib memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Sumber Daya Aparatur
Pasal 11
Penyelenggara wajib menyelenggarakan rekrutmen dan promosi aparatnya secara transparan, tidak diskriminatif dan adil, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 12
(1) Penyelenggara wajib mengadakan evaluasi kinerja aparatur pelayanan publik di lingkungan organisasinya secara berkala dan berkelanjutan.
(2) Penyelenggara wajib menyempurnakan struktur organisasi, sumber daya aparatur dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1).
(3) Hasil evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilaporkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
(4) Evaluasi kinerja aparatur dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tersebut dalam Pasal 2, serta indikator yang jelas dan terukur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Hubungan Antar Penyelenggara
Pasal 13
(1) Atas permintaan Penyelenggara lain, Penyelenggara dapat memberi bantuan kedinasan untuk suatu penyelenggaraan pelayanan publik yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan yang diberikannya.
(2) Pemberian bantuan kedinasan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) harus didasarkan pada :
6
a. lingkup kewenangan dan tugas pelayanan publik tersebut yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Penyelenggara;
b. ketidakmampuan sumber daya manusia Penyelenggara, dan atau
c. ketidaklengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki Penyelenggara.
Bagian Kelima
Kerjasama Penyelenggara dengan Pihak Lain
Pasal 14
(1) Penyelenggara dapat menyerahkan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain dalam bentuk perjanjian kerjasama penyelenggaraan pelayanan publik, sepanjang tidak menghilangkan tanggung jawab orisinilnya.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud ayat (1) berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia yang kepemilikannya seratus persen dipegang oleh warga negara atau badan hukum Indonesia.
(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak boleh menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 15
Penyelenggara wajib menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik :
a. kesederhanaan;
b. kejelasan;
c. kepastian dan tepat waktu;
d. akurasi;
e. tidak diskriminatif
f. bertanggung jawab;
g. kelengkapan sarana dan prasarana;
h. kemudahan akses;
i. kejujuran;
j. kecermatan;
k. kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan; dan
l. keamanan dan kenyamanan.
7
Bagian Kedua
Standar Pelayanan
Pasal 16
(1) Penyelenggara wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dengan memperhatikan lingkungan, kepentingan dan masukan dari masyarakat dan pihak terkait.
(2) Penyelenggara wajib menerapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud ayat (1).
Pasal 17
Standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. prosedur pelayanan;
d. waktu penyelesaian;
e. biaya pelayanan ;
f. produk pelayanan;
g. sarana dan prasarana;
h. kompetensi petugas pemberi pelayanan;
i. pengawasan intern;
j. penanganan pengaduan, saran dan masukan; dan
k. jaminan pelayanan.
Bagian Ketiga
Maklumat Pelayanan
Pasal 18
Penyelenggara wajib menyusun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas.
Bagian Keempat
Sistem Informasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 19
(1) Penyelenggara mengelola sistem informasi secara efisien, efektif, dan mudah diakses.
8
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. jenis pelayanan;
b. persyaratan dan prosedur pelayanan;
c. standar pelayanan;
d. maklumat pelayanan;
e. mekanisme pemantauan kinerja;
f. penanganan keluhan;
g. pembiayaan; dan
h. penyajian statistik kinerja pelayanan.
Pasal 20
Dokumen, akta dan sejenisnya yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berupa produk elektronika atau hasil teknologi informasi, secara hukum dinyatakan sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Pengelolaan Sarana, Prasarana dan Fasilitas Pelayanan Publik
Pasal 21
Penyelenggara wajib mengelola sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel, serta berkesinambungan.
Pasal 22
Dalam melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud Pasal 21, Penyelenggara melaksanakan inventarisasi sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara sistematis, transparan, lengkap dan akurat.
Pasal 23
Aparat bertanggungjawab dalam pelaksanaan, pemeliharaan dan atau penggantian sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan.
9
Pasal 24
(1) Penyelenggara dilarang memberikan izin kepada pihak tertentu untuk menggunakan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik yang mengakibatkan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik tersebut tidak berfungsi atau tidak sesuai dengan peruntukannya.
(2) Pengalihan dan atau pengubahan fungsi peruntukan setiap sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik yang sebelumnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
(1) Penyelenggara yang bermaksud mengubah atau memperbaiki sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik, wajib memberikan pengumuman dan atau memasang tanda-tanda yang jelas di tempat yang mudah diketahui.
(2) Bentuk dan isi pengumuman sebagaimana dimaksud ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nama kegiatan, nama penanggungjawab, waktu kegiatan dan manfaat.
Bagian Keenam
Pelayanan Khusus
Pasal 26
Penyelenggara wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperuntukkan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, dan balita.
Pasal 27
Penyelenggara dapat menyediakan pelayanan kelas-kelas tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan.
Bagian Ketujuh
Biaya Pelayanan Publik
Pasal 28
Biaya penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakekatnya dibebankan kepada negara dengan tidak menutup kemungkinan ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima layanan.
10
Pasal 29
Biaya pelayanan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Biaya pelayanan ditetapkan oleh Aparat yang berwenang dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a. tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;
b. nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa;
c. rincian biaya yang jelas dan transparan ;
d. prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
Penyelenggara dilarang melaksanakan pelayanan publik yang tidak sesuai dengan pembiayaan atau mata anggaran yang disediakan khusus untuk itu.
Bagian Kedelapan
Perilaku Aparat dalam Penyampaian Layanan
Pasal 32
Aparat dalam menyelenggarakan pelayanan publik berperilaku sebagai berikut :
a. adil dan tidak diskriminatif;
b. peduli, telaten, teliti, dan cermat;
c. hormat, ramah, dan tidak melecehkan;
d. bersikap tegas dan handal serta tidak memberikan keputusan yang berlarut-larut;
e. bersikap independen;
f. tidak memberikan proses yang berbelit-belit;
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. menjunjung tinggi nilai-nilai dan integritas serta reputasi Penyelenggara demi menjaga kehormatan institusi Penyelenggara di setiap waktu dan tempat;
i. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan;
j. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana pelayanan;
11
l. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi;
m. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan atau kewenangan yang dimiliki;
n. sesuai dengan kepantasan umum dan
o. profesional dan tidak menyimpang dari prosedur.
Bagian Kesembilan
Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 33
(1) Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh Pengawas intern dan Pengawas ekstern.
(2) Pengawasan intern penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui :
a. pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan ekstern penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui :
a. pengawasan oleh Ombudsman yang memiliki fungsi dan kewenangan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Bagian Kesepuluh
Pengelolaan Pengaduan
Pasal 34
(1) Masyarakat dapat menyampaikan keluhan atau pengaduan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara dan atau Ombudsman.
(2) Penyelenggara wajib menyiapkan sarana dan prasarana yang layak dalam pelaksanaan pengelolaan keluhan dan pengaduan.
(3) Berdasarkan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ombudsman menyusun rekomendasi tindaklanjut.
(4) Penyelenggara wajib mengelola setiap keluhan dan pengaduan baik yang berasal dari penerima pelayanan maupun rekomendasi dari Ombudsman.
12
Pasal 35
(1) Penyelenggara wajib menyusun tata cara pengelolaan keluhan dan pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan prinsip penyelesaian yang cepat dan tuntas.
(2) Tata cara pengelolaan pengaduan dari penerima pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a. prosedur pengelolaan pengaduan;
b. penentuan pejabat yang mengelola pengaduan;
c. prioritas penyelesaian pengaduan;
d. pelaporan proses dan hasil pengelolaan pengaduan kepada atasan Aparat;
e. rekomendasi pengelolaan pengaduan;
f. penyampaian hasil pengelolaan pengaduan kepada pihak-pihak terkait;
g. pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan;dan
h. dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan.
Pasal 36
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai prosedur pengajuan pengaduan.
(2) Penyelenggara wajib melaporkan tindak lanjut dari pengelolaan pengaduan pada akhir tahun kepada Menteri yang bertanggungjawab dibidang pendayagunaan aparatur negara.
Bagian Kesebelas
Indeks Kepuasan Masyarakat
Pasal 37
(1) Setiap Penyelenggara wajib melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara periodik.
(2) Untuk melaksanakan penilaian kinerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui survai indeks kepuasan masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
13
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik diwujudkan dalam bentuk kerjasama, pemenuhan kewajiban dan pengawasan masyarakat.
Bagian Kedua
Pengawasan Masyarakat
Pasal 39
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh perseorangan, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan atau Ombudsman.
(2) Pengawasan oleh perseorangan, masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dilakukan melalui pemberian informasi mengenai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan publik kepada pimpinan Penyelenggara, aparat pengawas fungsional, instansi terkait dan atau Ombudsman.
(3) Pengawasan oleh Ombudsman terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan melaporkan pelanggaran peraturan perundang-undangan, kepada pimpinan Penyelenggara dan atau institusi penegak hukum, untuk ditindaklanjuti.
BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA PELAYANAN PUBLIK
Pasal 40
(1) Masyarakat dapat menggugat atau menuntut Penyelenggara atau Aparat melalui Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal sebagai berikut:
a. tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau tidak memberikan pelayanan yang semestinya menurut standar pelayanan;
b. melalaikan atau melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; dan
14
c. menyalahgunakan dan atau melampaui kewenangan yang dimiliki oleh Aparat.
(2) Gugatan atau tuntutan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan oleh:
a. perseorangan atau badan hukum yang bersangkutan;
b. masyarakat yang terdiri dari para penerima jasa yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik.
Pasal 41
(1) Penyelenggara dapat menjadi subyek hukum yang diwakili oleh pejabat yang bertanggungjawab di dalam organisasi Penyelenggara.
(2) Penuntutan dilakukan terhadap Aparat yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan atau Aparat yang terlibat langsung, baik secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 42
(1) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat menimbulkan kerugian perdata atau bersifat melawan hukum, gugatan diajukan melalui Peradilan Umum.
(2) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat mengandung unsur perbuatan pidana, tuntutan diajukan melalui Peradilan Umum.
Pasal 43
Masyarakat yang melapor kepada Ombudsman atau menggugat Penyelenggara ke Pengadilan termasuk saksi-saksi yang berkaitan dengan keluhan pelapor dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 44
(1) Penyelenggara yang melanggar kewajiban dan atau larangan yang diatur dalam Undang-Undang ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pemberian peringatan;
b. pembayaran ganti rugi; dan atau
c. pengenaan denda.
(2) Aparat yang melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pemberian peringatan;
b. pengurangan gaji dalam waktu tertentu;
c. pembayaran ganti rugi;
d. penundaan atau penurunan pangkat atau golongan;
e. pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu tertentu;
f. pemberhentian dengan hormat; atau
g, pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 45
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 44, dilakukan oleh atasan Aparat atau pejabat dari Penyelenggara yang bertanggungjawab atas kegiatan pelayanan publik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyelenggara atau Aparat yang telah dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilanjutkan pemrosesan perkara ke Lembaga Peradilan Umum bila memenuhi ketentuan Pasal 42.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
Penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, dan tata cara pengelolaan pengaduan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus dipenuhi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
16
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal…..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal .........................
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……... NOMOR ..........